Ia tidak bisa mengenal dunia. Gelap, hening, senyap. Bagaimana mungkin, kala mata tiada mampu menangkap cahaya, telinga tiada mampu menangkap getaran, maka dunia terjauh darinya.
Manusia memiliki akal pikiran; itulah yang membedakannya dengan makhluk lain. Walau mata buram melihat, walau telinga berdengung mendengar, walau lidah kelu berucap, namun ketika akal masih berfungsi, maka tetaplah manusia tetaplah manusia. Ini tentang perjuangan, tentang cinta, tentang percaya, tentang doa. Serajut kisah Karang dan keluarga HK menjadi manifestasi indah sebuah perjuangan tiada henti, cinta tiada padam, percaya tiada letih, dan doa tiada usai.
Novel berjudul “Moga Bunda Disayang Allah” ini merupakan anggitan dari salah satu novelis ternama di Indonesia. Siapa yang tidak mengenal Tere Liye? Novelis bernama asli Darwis ini sedang naik daun di tengah puluhan Novel-Novel yang dibuatnya. Tangannya seperti tiada berhenti menulis; menggurat lembaran dengan berbagai kisah berbagai makna. Dan novel kedua yang ia buat pada tahun 2006 ini, Tere Liye merujuk pada kisah nyata seorang tunarunggu dan tunanetra, dan tunawicara Helen Adam Kellen. Kisah yang cukup mengharukan dan mampu dikemas dengan baik oleh penulis yang lahir di Sumatera Selatan ini.
Ada 2 latar yang mendominasi jalannya Novel ini; Karang dan kisah tragisnya, dan keluarga HK dengan kisah sedih anaknya. Karang, pemuda yang datang malaikat, pemuda yang memberikan mimpi bagi berjuta anak kecil, pemuda dengan semangatnya yang mampu membuat anak lumpuh kembali berjalan, tiba tiba harus mengalami kejadian tragis yang membuatnya berubah 180 derajat. Potongan potongan kenangan kelam masa lalu, kala 18 nyawa menggigil membiru di sekelilingnya, menjadi titik tolak perubahan yang menyedihkan bagi Karang. Pun dengan keluarga HK, yang putri kecilnya, Melati, tertimpa musibah yang mengharuskan penglihatan dan pendengaran luput dari malaikat kecil ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar